Sabtu, 01 Januari 2011

Teman Biru


Senja yang buram, aku termenung sambil sibuk menekan tuts keyboard dan sesekali melirik ke telfon genggamku. Menunggu sebuah pesan singkat dari seorang teman. Aku tidak tahu harus memberi sebutan yang tepat untuknya, “rekan”? “kerabat”? atau “orang asing”? Yang jelas bukan ketiganya, maka untuk lebih mudahnya aku mengatakannya teman. Ia ada hanya pada saat aku dibutuhkan, semu saat aku membutuhkan ia. Secara teori, sebagai seorang teman kami baiknya saling mengisi kekurangan satu sama lain. Tapi yang ini berbeda, hanya aku yang bisa mengisi jam pasirnya. Entah aku bisa disebut “dungu”, “tolol”, “bodoh”, atau “lugu”, tapi aku sendiri sebenarnya sering mengabaikan sebuah petuah dari temanku yang lain.
Dan tiba – tiba, nada dering telfon genggamku pun berbunyi, aku lekas membaca isi pesan singkat darinya, dan sesuai tebakan, isinya mengecewakan, aku bisa memakluminya, karena ia terlahir dengan sifat yang teramat unik, atau . . . teman – teman yang lain lebih banyak mengatakan ia adalah orang yang “aneh” bahkan beberapa diantaranya mengatakan ia adalah seorang “freak”. Namun bagiku, ia tetap terlihat sebagai seorang teman yang sebenarnya ramah, hanya saja ia egois dan ketus. Kuakui, dalam perjalanan berteman dengannya, aku juga bisa lepas kendali, tidak seperti diriku yang biasanya : terkontrol, fokus, dan tetap tenang, sedangkan saat dalam fase lepas kendali, aku terpancing untuk emosi, mengatakan hal – hal yang cukup- pedas, namun sayangnya aku selalu tidak pernah sampai tuntas untuk bisa mengatakan hal tersebut, hanya seperempatnya saja. Entah kenapa, hati kecilku selalu berkata : “cukup, jangan lebih dari ini, dan kamu bisa lebih tenang dalam mengahadapi ia nantinya, bahkan orang lain”, selalu begitu, bisa saja aku sangat jenuh sampai – sampai aku tak bisa berfikir jernih kembali, kadang aku tertekan hingga darahku mendidih ke ubun – ubun, kadang pula aku teriris akan kata – katanya yang ketus, padahal kutahu ia tidak benar – benar bermaksud seperti itu, ia hanya kurang berfikir dengan mencampurkan antara hati dan logika.

* * *

Setelah lama berkecamuk dengan segala macam pikiran ini, aku membalas pesan singkatnya dengan sebuah kata : “ya”. Hanya itu saja yang bisa kubalas, aku mungkin sudah terlalu terbiasa dengan kata – katanya yang ketus, sifatnya yang dingin, pemikirannya yang kurang rasional, sikapnya yang bagai anak kecil dan masih banyak lagi. Sangat terbiasa mungkin, setiap detik berada di dekatnya, aku bisa merasakan ia semakin menghitam, walau ia juga bisa secerah matahari. 

 
 " . . . sifatnya yang dingin, pemikirannya yang kurang rasional, sikapnya yang bagai anak kecil dan masih banyak lagi."

Sungguh manusia yang sulit untuk bisa dimengerti, dan mungkin hal inilah yang membuat aku tertekan akan apa yang kehendaki, mungkin . . . aku juga salah karena melakukannya dengan setengah hati, namun sulit untuk berkata “tidak”, sesekali saat kupinta ia agar bisa mendengarkan keluh kesahku, ia temanku memilih untuk menghindar.
Aku sempat terheran dengan diriku sendiri, bertanya di depan kaca, setiap saat kutemukan diriku berada dalam lubang hitam : “apa yang membuat ia begitu special? Begitu sulit untuk dilepaskan dari jeratan kepala ini? Padahal aku tak merasakan apapun yang mengelitik bathin ini”. Saat itu pula, kuambil kotak pensilku, mengambil bolpoint dan kutulis sebuah puisi tentang kegalauan ini, berharap aku bisa menemukan jawaban dari tulisan – tulisan ini, dan benar dugaanku, aku tersadar saat kembali mengambil penghapus dari kotak pensilku, kutemukan ada gantungan kunci pemberiannya bertuliskan bahasa mandarin, yang aku tidak dapat lafalkan secara tepat, tapi kutahu artinya adalah “kekuatan”. Ya, mungkin inilah yang membuat aku bisa bertahan dengan segala hitamnya ia. Ia, temanku bukanlah sekedar teman, melainkan seorang yang menjadi inspirasi dalam tulisanku, dan seseorang yang kutahu bisa membuatku lebih tegar, kuakui, walau harus berkali – kali aku harus terjungkal dengan ego-nya, ternyata itu semua bisa memilikidampak yang sangat baik bagiku, aku bisa lebih berfikir lebih fokus, aku bisa lebih kuat lagi dalam menghandle kesabaranku, aku bisa berfikir lebih jelas.

* * *

Aku tersenyum tipis, melihat kembali telfon genggamku terisi oleh beberapa pemberitahuan pesan singkat, salah satunya adalah pesan singkat dari ia, temanku :
Kamu bertanya kan? Ya sudah . . jangan tanya hal yang tidak penting.”
Sembari membaca pesan singkatnya yang dingin itu, aku tertawa kecil, memang tak pantas, memang sebaiknya aku membalasnya dengan kata yang pedas, namun aku lebih menjawab dengan singkat : “ya .. ”.
Ia, temanku, adalah teman yang bisa membuatmu merasa biru, adalah teman yang tidak selalu bisa mengisi harimu, adalah teman yang lebih sering meminta padamu, adalah teman yang bisa memberikanmu sifatnya yang kaku, adalah teman yang bisa membuat lidahmu merasa kelu, adalah teman yang kadang bisa membuat darahmu mendidih hingga ke ubun – ubun. Tapi ia, temanku adalah sumber inspirasiku, motivasiku, dan orang yang bisa kuandalkan untuk bisa membuatku menjadi orang yang semakin kuat dalam menghadapi masalah. Ia, temanku . . . adalah teman biru-ku.
Fadhil Almasyhur
Denpasar, 31 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar